8/16/2016

Alasan Menolak Vaksinasi Menurut dr. Kurt Perkins

Alasan menolak vaksinasi mungkin terdengar klise dan menabrak pakem yang berlaku di masyarakat. Penolakan ini akan membuat pelakunya lebih sering dilabeli negatif, bahkan terancam dipidanakan.

Tapi urusan vaksinasi saat ini telah menjadi arena debat panas yang sepertinya tidak akan segera tuntas. Setiap orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Orang tua yang loyal pada imunisasi (baca: vaksinasi) akan berusaha memberi vaksin lengkap pada anak-anak mereka. Sementara yang tidak percaya pada keampuhan vaksin akan sekuat tenaga menghindarinya.

alasan menolak vaksinasi

Ada berbagai alasan untuk menolak vaksin yang mungkin sudah sering kita baca, terlepas vaksin itu asli maupun palsu. Tapi, kali ini saya hadirkan buah pikiran dr. Kurt Perkins, seorang dokter kiropraktik yang berbasis di Colorado, Amerika Serikat.


Ketika dr. Perkins mengadakan survei via newsletter, ada satu respon yang sangat mengesankan sekaligus paling menggiggit. Feedback itu adalah jawaban atas satu pertanyaan yang dia lontarkan, ‘Hal apa yang seharusnya saya HENTIKAN?’


Anda harus memperjelas posisi Anda terhadap imunisasi. Kalau Anda menolak imunisasi hanya karena vaksin itu beracun, ketahuilah, itu adalah alasan yang bodoh dan tidah benar. Saya sepakat jika sejumlah bahan vaksin bersifat toksik terhadap tubuh, tapi penyakit-penyakit yang dicegahnya juga toksik!! Bahkan jauh lebih beracun!

Generasi kami dan penerus kami belum pernah mengalami adanya anggota keluarga kami tercinta yang menjadi lumpuh akibat polio atau bayi terlahir cacat karena ibunya terkena rubella saat mengandung. Jadi, adalah bodoh jika menolak vaksin lantaran zat-zat di dalamnya beracun. Sementara, penyakit-penyakit yang tercegah oleh imunisasi --yang penyakit-penyakit itu juga beracun—tidak Anda pedulikan.
Sulit untuk menerima pendapat Anda tentang imunisasi secara serius karena ketidakpedulian Anda pada penyakit-penyakit tersebut, atau karena Anda tidak mengatakan masalah yang sebenarnya secara lengkap.

Kalau ingin orang percaya kepada Anda, Anda perlu membahas semua tentang imunisasi sehingga argumen Anda bernilai. Seperti bila Anda melobi agar menggunakan imunisasi yang lebih alami tanpa zat-zat toksik di dalamnya, maka argumen seperti ini akan lebih beralasan.
Setelah membacanya beberapa kali, dr. Perkins menduga-duga, siapa yang menulis komentar seperti di atas. Respon itu anonim dan membuatnya sangat penasaran. Sebelumnya, jika dr. Perkins mendapat pertanyaan-pertanyaan terkait vaksin dan si penanya punya argumen bagus tentang polio dan penyakit-penyakit menular lainnya, maka biasanya penanya itu adalah dari generasi baby boomer (orang yang lahir di rentang satu dekade setelah perang dunia 2 berakhir). Bisa pula penanya itu adalah orang kesehatan.

Kalau vaksin ditolak karena beracun bagi tubuh, bukankah berbagai penyakit yang secara teori bisa dicegah oleh si vaksin juga sama-sama beracunnya? Jadi, kenapa tidak bersikap fair?

Setelah mengingat-ingat siapa saja kliennya, teman-temannya di media sosial dan di organisasi profesionalnya, dan lain-lain, hanya ada satu tersangka yang memberi respon semacam itu.

Karena itu, dr. Perkins menuliskan pendapatnya tentang imunisasi, mengapa dia menolak vaksinasi untuk keluarganya, kini dan nanti, sesuai ‘arahan’ komentar kritis di atas. Dia menolak vaksinasi dari sudut pandang posisinya sebagai ayah. Selain itu, sebagai seorang kiropraktor, serangan atas integritas dan kejujuran dirinya begitu membekas. 


Tahukah pembaca, siapakah kritikus vokal itu?

 Ternyata sosok itu tidak lain adalah ibunda dr. Perkins sendiri!

Jadi, begini alasan dr. Perkins untuk menolak vaksinasi.

1. VAKSINASI VS IMUNISASI

Harus diperjelas PERBEDAAN antara vaksinasi dan imunisasi. Dr. Perkins sangat mendukung imunisasi. Tapi, media dan industri farmasi telah menyetarakan antara imunisasi dan vaksinasi. Vaksinasi itu hanyalah menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuh. Perlakuan ini tidak menciptakan kekebalan pada tubuh kita. Kekebalan tubuh dan vaksinasi adalah dua hal yang terpisah jauh.

Membangun imunitas adalah suatu proses alami. Dengan proses alami ini, tubuh kita menggunakan pertahanan berlapis. Lapisan pertama pertahanan tubuh kita adalah kulit. Kulit akan mencegah masuknya zat-zat yang berbahaya. Dengan vaksin, hukum alam ini secara total diterabas. Karena, vaksinasi adalah memberi suntikan berisi aneka bahan yang, pada kondisi normal, kulit kita akan menolak untuk memasukkannya ke dalam tubuh.

Lapisan pertahan tubuh lainnya adalah sistem pernafasan. Saat kita batuk, bersin, hidung meler, itu semua adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan penyerang yang berbahaya. Bersin, batuk, dan hidung berair merupakan hasil dari sistem imun yang bekerja. Jika kita menekannya (baca: mengobati) dengan antihistamin, penurun panas, dlsb, maka sama saja dengan melempangkan jalan bagi para penyerang itu.

Kita juga punya sistem limfe(yang terhubung dengan) perut. Sistem ini berguna untuk melawan serangan yang lebih ganas. Jika sistem pertahanan alami kita sangat lemah, para penyerang yang berupa bakteri/virus hidup maupun mati akan masuk ke aliran darah. Begitu ada dalam darah, mereka akan bebas berkeliaran dalam tubuh.

Vaksin menyimpang dari semua hukum pertahanan kekebalan alami dengan cara memasukkan patogen potensial (bakteri penyebab penyakit, toksoid, atau bagian dari virus atau DNAnya) bersama-sama dengan bahan-bahan BERACUN (misalnya alumunium, formaldehid, dan aneka ajuvan vaksin, dan lainnya) SECARA LANGSUNG ke sistem peredaran darah. 


Proses semacam ini tidak akan pernah terjadi dalam pembentukan kekebalan alami. Kekebalan/imunitas adalah hal yang bersifat alami. Saat bakteri atau virus menyerang, mereka tidak menyertakan aneka bahan toksik seperti yang ada dalam vaksin. Vaksin adalah benda buatan alias artifisial.

2. RISET YANG CACAT

Mantra ilmiah vaksin adalah aman dan efektif, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pembuatnya. Riset ini cacat karena standar ganda yang mereka terapkan. Standar emas dalam desain riset adalah double blinded, uji random terkontrol alias RCT.

Dengan metode ini, partisipan dibagi menjadi dua kelompok: satu kelompok diberi vaksin beneran dan satunya hanya diberi plasebo. Pemberiannya secara acak, sehingga peneliti tidak tahu mana partisipan yang diberi vaksin dan mana yang disuntik plasebo. Kemudian perkembangannya diamati dan dicatat, mana yang kondisinya jadi makin baik, mana yang jadi lebih buruk, dan sebagainya.

Berapa banyak jenis vaksin yang dites dengan cara ini? TIDAK ADA

Tahu kenapa?

Karena para peneliti itu tidak mau ambil risiko jika ada anak yang mati gara-gara terserang penyakit yang harusnya bisa dicegah dengan vaksin. Jadi tidak etis untuk membiarkan anak-anak itu tanpa diberi vaksin. Sebaliknya, jika ada anak yang meninggal karena minum obat anti-depresan mereka, itu tidak jadi soal.

Alih-alih menguji kemanan dan keefektifannya, pembuat vaksin meninjau adakah antibodi yang terbentuk oleh antigen (penyerang/benda asing), yang tidak lain adalah vaksin tersebut. Terbentuknya antibodi menjadi parameter vaksin itu “aman dan efektif”, itulah yang mereka inginkan kita mempercayainya. Riset-riset ini jarang yang dilakukan pada anak berusia di bawah 4 tahun. 


Bisakah vaksin dikatakan aman dan efektif untuk disuntikkan ke tubuh bayi jika tidak pernah diujikan kepada bayi?

Masalah lainnya adalah, ketika vaksin-vaksin diteliti, penelitian itu berbasis pada satu vaksin. Maksudnya, jika mereka meneliti vaksin campak, yang mereka teliti ya hanya vaksin campak saja. Bukan meneliti vaksin campak, gondong, dan rubella (measles, mumps, rhubella –MMR-) sekaligus. Riset vaksinnya pun tidak per jadwal yang direkomendasikan.

Seorang bayi usia 2 bulan bisa mendapat 8 vaksin yang diberikan dalam 6 suntikan; pertusis, difteri, tetanus, HiB, hepatitis B, polio, pneumokokus, dan rotavirus. Serius nih, apakah pihak FDA atau CDC tidak merasa kalau vaksin-vaksin ini terlalu banyak?

3. BOOSTER YANG GAGAL

Di Amrik, anak-anak berusia 18 bulan telah harus mendapat 36 suntikan vaksin. Riset tentang efisasi mereka tidak bisa diandalkan. Efisasi di sini maksudnya berapa lama suatu vaksin akan bekerja. Karena itu, kita perlu disuntik berkali-kali dengan banyak antigen.

Sebagai contoh, mari lihat vaksin HPV. Seorang gadis mulai usia 12 tahun (sekarang mulai usia 9 tahun) harus mendapat 3 rangkaian suntikan untuk mencegahnya terkena HPV yang merupakan penyakit menular seksual. HPV MUNGKIN menjadi penyebab kanker leher rahim, meskipun kaitan tersebut belum pernah dipastikan.

Pabrikan vaksin HPV mengklaim produknya hanya punya efisasi selama 5 tahun. Disini terjadi masalah ganda. Pertama, para pasien kanker leher rahim rata-rata berusia 50 tahun. Kedua, vaksin HPV diberikan kepada gadis 12 tahun.

Jadi, kita punya sistem yang mendorong diberikannya suatu vaksin dalam beberapa kali suntikan (booster) dengan perkiraan masa efisasi 5 tahun kepada anak-anak pra-remaja. Vaksin tersebut belum pernah diujikan kepada mereka dan kemungkinan mereka terkena penyakit itu adalah nanti bila menginjak usia 50. Kalau masa kerja vaksin hanya 5 tahun, maka pada usia 17, mereka sudah tidak lagi terlindungi dari infeksi HPV dong!

Ketika mereka sudah divaksin HPV 3X, penerimanya diklaim sudah terlindungi dari kanker servik seiring pertambahan usia mereka. Dan orang yang menentangnya dengan logika seperti ini akan disebut quack: dokter abal-abal.

Lantas, berapa lama efisasi untuk vaksin-vaksin yang lain? Siapa yang tahu? 


Mereka tidak menelitinya; mereka membuat perkiraan dan berkata kita perlu lebih banyak vaksin. Begitu vaksin disetujui oleh FDA, maka tidak perlu keluar uang lagi untuk meneliti lebih lanjut tentang efeknya. Pabrikan vaksin sudah menguji vaksin-vaksin itu dalam tabung reaksi dan tinggal bersantai sesudahnya karena mereka sudah dijamin kebal hukum.

CATATAN: Di tahun 1986, Presiden Ronald Reagan menandatangani Undang-undang Cedera Vaksin Anak Nasional (National Child Vaccine Injury Act) yang isinya:


Pabrikan vaksin tidak akan bertanggung jawab atas tuntutan hukum masyarakat karena kerusakan yang timbul akibat cedera atau kematian terkait vaksin. (Public Law 99‐660)
Karena tidak ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui berapa lama vaksin akan bekerja, maka rekomendasi untuk suntikan booster pun bisa menjadi tak terbatas. Hal yang sangat membingungkan adalah vaksin yang diberikan secara berseri hingga 4 kali. Kalau 3 vaksin pertama tidak memberi kepastian bagi penerimanya untuk menjadi kebal, bagaimana kita bisa tahu jika suntikan yang ke-4nya menjadi garansi tunggal kekebalan seumur hidup?

Mengapa suntikan kedua, ketiga, hanya bertahan selama setahun tetapi suntikan terakhirnya bertahan seumur hidup? Bagaimana logikanya?

4. PARA PENGGIAT POLIO

Salah satu isu vaksin paling emosional yang menimbulkan ketakutan adalah adanya penyakit menular. Generasi X (mereka yang lahir tahun 1960 sampai pertengahan 1970an) disebut-sebut sebagai generasi yang tidak tahu apa-apa karena tidak menyaksikan kerusakan akibat polio. 

Sehingga, dengan tidak memvaksin berarti menjerumuskan anak-anak dalam ancaman bahaya kematian dan kelumpuhan. Yang lebih buruk, jika anak kita tidak divaksin, maka anak-anak lain akan berisiko terkena polio, meskipun telah divaksin.

Ini screenshoot dari laman di website CDC. Yuk kita analisis untuk menghilangkan rasa takut berlebihan itu.

alasan menolak vaksinasi polio

Di situ dikatakan jika rata-rata terdapat 35.000 kasus polio dari akhir tahun 1940 sampai 1950. Sebut saja, 35.000 kasus polio per tahun. Jumlah penduduk Amerika Serikat tahun 1950 ada 150 juta. Maka, kesempatan untuk terkena polio adalah 35000/150000000 X 100% = 0,023%. Ini risiko terkena polio pada seluruh populasi, tidak hanya anak-anak. Angka ini terjadi SEBELUM vaksin polio diperkenalkan.

Kita lihat paragraf pertama. 72% kasus polio tidak punya gejala apapun. Yang jadi pertanyaan, bagaimana kita bisa mengetahui orang-orang ini terkena polio? Kalau gejala saja tidak ada, mungkinkah mereka datang ke dokter untuk memeriksakan diri, apakah tubuh mereka terkena polio atau tidak?

Kemudian, dikatakan kalau 24% punya gejala yang ringan yang menyerupai flu. Kalau kita demam, tenggorokan gatal, perut terasa tidak enak, dan TIDAK lumpuh, akankah secara otomatis kita berpikir telah terkena polio? Rasa-rasanya tidak. Apakah dokter akan mengetes polio dengan keluhan semacam itu?

Sebanyak 96% (72% + 24 %) orang yang diperkirakan terkena polio menunjukkan gejala (atau bahkan tidak bergejala) yang terlihat tidak semenakutkan jika benar-benar terserang polio. Apakah angka 35 ribu itu telah digelembungkan? Mungkinkah 33.600 dari 35.000 kasus itu adalah kasus penyakit yang lain? Bisa sih, berspekulasi, tapi kita akan tetap pakai angka-angka yang dipublikasi ini.

1-5% kasus berkembang menjadi aseptic meningitis. Meningitis membuat penderita teramat kesakitan dan berharap untuk mati saja. Tapi dengan begitu, berarti misteri gejala penyakitnya telah terpecahkan.

Yang mengerikan adalah angka “kurang dari 1%”. Inilah angka terjadinya kelumpuhan. Mereka tetap hidup namun kelumpuhan itu sangat berdampak bagi fisik dan emosinya. 1% dari 35.000 kasus, 5-10% dari 1% itu meninggal. Angka ini tampak begitu menakutkan karena orang hanya membaca 5-10% orang yang tekena polio akan mati. Kita harus cermat membacanya.

Mari kita pakai angka-angka PRA VAKSIN ini untuk mengecek risiko yang sebenarnya jika kita memilih tidak memvaksin.

Tadi telah kita hitung risiko terkena polio sebelum era vaksin sebesar 0,023%. Dengan kata lain, kesempatan kita untuk TIDAK KENA polio pada tahun 1950 adalah 99,977%. Kesempatan untuk divaksin pun NOL karena vaksin pencegahnya belum ada.

1% dari 35.000 kasus polio akan mengalami lumpuh. 1% dari 35.000 adalah 350. 5-10% DARI 1% itu akan meninggal. 5% dari 350 adalah 17,5 orang; 10% dari 350 adalah 35 orang. Artinya, 17-35 orang akan meninggal setiap tahunnya akibat polio.

Risiko kita menjadi lumpuh oleh polio SEBELUM vaksinnya ada adalah 350/150.000.000 x100% = 0,00023%. Risiko untuk MENINGGAL akibat polio adalah 17,5-35/150.000.000 X 100% = 0.000016% - 0,000023%. Risiko ini berlaku bagi anak-anak maupun dewasa.

CDC mengatakan jika risiko kelumpuhan akan meningkat seiring usia. Jadi, bisa pula disimpulkan kalau risiko kematian pun meningkat seiring dengan usia. Tadi telah kita ketahui jika risiko meninggal adalah 5-10% dari 1% yang lumpuh. Mungkin, kita yang sudah dewasa perlu untuk lebih waspada terhadap polio dan lebih memerlukan vaksinnya daripada anak-anak.

Kalau kita bandingkan dengan risiko kematian akibat kecelakaan lalu lintas di tahun 2015 -saat standar keamanan berkendara diberlakukan dengan ketat- yang mencapai 0,011%, risiko kematian karena polio itu sangat kecil. 33,804 meninggal dalam kecelakaan, sementara jumlah penduduk Amrik adalah 318,9 juta nyawa. 


Risiko meninggal akibat kecelakaan jika kita berkendara ke tempat praktik dokter untuk divaksin polio itu 487 hingga 687 X lebih tinggi daripada mati akibat polio itu sendiri, seandainya kita tetap di rumah dan tidak divaksin.

Tentu saja ini bukan berarti tidak ada empati buat mereka yang menjadi lumpuh atau bahkan meninggal karena polio. Yang menyebalkan itu adalah kampanye pemasaran vaksin dan kebijakan pemerintah dibuat berdasarkan rasa takut dan kekhawatiran yang bersumber dari pengalaman individu penderitanya.

Eh, tapi kan vaksin telah menyelamatkan ribuan nyawa dari kelumpuhan?

Kita perlu melihat sendiri diagram penyebaran polio seperti di bawah ini. Kita akan tahu jika polio telah menurun secara drastis sebelum vaksinnya diperkenalkan. Insidensi polio yang paling tinggi terjadi saat Amrik memiliki sistem sanitasi yang buruk, hiegienitas dan nutrisi yang kurang baik yaitu pada masa depresi.

alasan menolak vaksinasi



alasan tidak imunisasi menurut dr. kurt perkins


Polio telah berkurang 90% sebelum vaksin polio dipakai secara meluas.

Di Amrik, kasus polio alami terakhir terjadi pada tahun 1979. Tapi, sekarang kita masih saja memvaksin polio anak-anak pada umur 2,4, 6-12 bulan, dan 4-6 tahun. Taktik menakut-nakuti terus saja berlanjut. “Polio dapat kembali dan Anda tidak tahu betapa besar daya rusaknya,” kata mereka. Bukannya kami tidak peduli pada sejarah, tapi polio mengganas ketika sanitasi, hieginitas, dan nutrisi kita tengah terpuruk.

Buruknya ketiga hal ini juga yang menjadi alasan mengapa negara-negara dunia ketiga punya masalah dengan penyakit-penyakit menular. Bukan karena kekurangan vaksin. Saat Great Depression berakhir (akhir tahun 1930an), orang hidup dengan lebih bersih dan lebih sehat. Saat itu pula diperkenalkan obat jenis baru yang disebut antibiotik. Obat ini dipakai untuk pilek, batuk, atau demam.

Dr. Perkins bukanlah penggemar penggunaan antibiotik meski mengakui jika obat ini akan bekerja efektif bila dipergunakan secara tepat. Jadi, mana yang lebih benar, penurunan kasus polio itu karena antibiotik atau karena vaksin?

Bagaimana dengan tifoid dan scarlet fever (demam scarlet)? Keduanya punya daya rusak yang tinggi dan dengan tanpa vaksin, kasusnyapun turun. Alam punya siklusnya sendiri. Sanitasi, hygiene, dan nutrisi punya peran penting dalam menaggulangi penyebarannya.

alasan menolak imunisasi



Referensi dan grafik:
http://www.morehealthlesshealthcare.com/vaccines/my-crystal-clear-stance-on-vaccines-revised-2015/

(BERSAMBUNG)

1 comment:

  1. DokterVaksin.com Melayani Vaksin Meningitis, Yellow Fever, Haji dan Umrah di Indonesia

    ReplyDelete

I'd love to hear you saying something: