3/06/2016

Kemustahilan Kekebalan Kelompok Dari Hasil Vaksinasi

Kemustahilan Kekebalan Kelompok Dari Hasil Vaksinasi 

Russell L. Blaylock, M.D.
© February 18, 2012

Mereka yang teliti telah mengetahui suatu tren di Amerika Serikat, begitu juga di seluruh dunia, berupa keputusan pemerintah dalam berbagai levelnya untuk mewajibkan vaksinasi kepada masyarakat. 

Negara bagian tempat saya tinggal, Mississippi, adalah salah satu negara bagian yang memiliki undang-undang tentang pengecualian vaksin yang paling ketat di Amerika Serikat. Pengecualian itu hanya diizinkan lewat rekomendasi medis. 

bukti herd immunity

Ironisnya, ini hanya berlaku di atas kertas, karena banyak yang telah mendapat rekomendasi dari tiga orang dokter, beberapa dari mereka ahli dalam hal kerusakan saraf akibat vaksin, yang membuat permohonan tertulis untuk pengecualian vaksin, namun ditolak oleh pegawai kesehatan pemerintah.

Yang lebih buruk terjadi di negara bagian Massachusetts, New Jersey dan Maryland. Di sana vaksinasi paksa telah diperintahkan oleh pengadilan, badan pembuat undang-undang, atau undang-undang yang sedang menunggu pengesahan. Semua kebijakan itu sangat mirip dengan kebijakan di negara-negara sosialis nasional, Stalinis, atau China komunis.

Ketika para tenaga kesehatan masyarakat ditanya tentang pembenaran hukum atas tindakan jahat memaksa orang untuk menerima vaksin saat mereka tahu vaksin berbahaya bagi diri mereka, juga orang-orang yang mereka kasihi, atau telah mengalami sendiri efek samping yang serius dari vaksin tersebut, para pejabat itu biasanya beralasan perlunya melindungi masyarakat.


Ada yang cepat menyimpulkan bila vaksin seefektif yang digembar-gemborkan oleh para pejabat kesehatan publik, maka mengapa orang jadi takut pada mereka yang tidak divaksin? 

Sudah jelas kalau mereka yang divaksin akan terlindung sedikitnya 95%. 

Pertanyaan ini membuat mereka terpojok. Respon mereka biasanya adalah prosentase ‘kecil’ orang yang divaksin tidak akan memiliki perlindungan yang mencukupi dan masih akan berisiko. 

Sekarang, kalau mereka mengakui apa yang ditunjukkan oleh literatur, bahwa angka kegagalan vaksin jauh melebihi 5% seperti yang diklaim, mereka harus berhadapan dengan pertanyaan selanjutnya –lalu mengapa setiap orang harus divaksin bila ada kesempatan yang nyata vaksin tidak akan memberi perlindungan?

Saat didesak lebih jauh, mereka mengemukakan pembenaran favorit mereka, cawan suci bagi para pegiat vaksin, yaitu kekebalan kelompok (herd immunity)

Konsep herd immunity didasarkan pada pemikiran bahwa 95% (dan kini dikatakan 100%) dari populasi harus divaksin untuk mencegah terjadinya wabah. Prosentase yang perlu divaksin meningkat tajam. 

Saya merenungkan pertanyaan ini beberapa lama sebelum jawaban itu ketemu. Kekebalan kelompok itu nyaris seluruhnya mitos dan hanya berlaku pada kekebalan alami, yaitu (kekebalan yang didapat) setelah terkena infeksi.

Apakah Kekebalan Kelompok itu Nyata?

Dalam deskripsi asli mengenai kekebalan kelompok, perlindungan terhadap penduduk secara umum terjadi hanya jika orang-orang terkena infeksi secara alami. 

Alasannya, kekebalan yang diperoleh secara alami bertahan seumur hidup. Para pegiat vaksin dengan cepat menyematkan konsep ini dan menerapkannya pada kekebalan hasil vaksinasi. 

Tetapi, ada masalah besar, kekebalan hasil vaksinasi hanya bertahan dalam waktu yang relatif singkat, dari 2 hingga 10 tahun paling lama, dan ini hanya berlaku pada kekebalan humoral (kekebalan hasil dari aktivitas unsur-unsur dalam darah dan jaringan limfoid, seperti antibodi, bukan sel). 

Inilah sebab mengapa mereka mulai, dengan diam-diam, menganjurkan booster untuk hampir semua vaksin, bahkan vaksin untuk penyakit infeksi yang umum pada anak-anak, semisal cacar air, campak, gondong, dan rubella.

Bahkan setelah itu mereka menemukan masalah yang lebih besar, booster hanya bertahan selama dua tahun atau kurang. Ini menjadi alasan mengapa kita sekarang mendapati anak muda yang masuk ke perguruan tinggi diperintahkan untuk mendapat vaksin dengan jumlah berlipat, bahkan dengan vaksin yang mereka tekankan memberi kekebalan sepanjang hayat, seperti MMR. 

Hal yang sama dianjurkan pada orang yang telah tumbuh dewasa. Ironisnya, tidak seorangpun di media atau di bidang kedokteran mempertanyakan apa yang terjadi. Mereka menerima begitu saja dan harus melakukan perintah itu.

Bahwa kekebalan kelompok hasil vaksinasi nyaris hanya mitos bisa dibuktikan dengan cukup sederhana. Sewaktu saya kuliah kedokteran, kami diajarkan bahwa semua vaksin di masa kanak-kanak bertahan seumur hidup. Pemikiran ini bertahan selama lebih dari 70 tahun. Itu terus berlaku hingga relatif belum lama ini setelah ditemukan bahwa hampir semua vaksin ini kehilangan efektifitasnya dalam 2 sampai 10 tahun sesudah diberikan. 

Artinya, setidaknya setengah dari penduduk, yaitu orang-orang yang lahir dalam rentang 10 tahun sejak Perang Dunia II berakhir, tidak memiliki kekebalan hasil vaksinasi terhadap penyakit-penyakit ini karena mereka telah divaksin di awal kehidupan mereka. Intinya, sedikitnya 50% penduduk atau lebih tidak terlindungi selama puluhan tahun.

Apabila kita mendengarkan kebijakan vaksin masa kini, kita semua terkena risiko bangkit kembalinya wabah masal jika angka vaksinasi berada di bawah 95%. Tapi kita telah hidup setidaknya selama 30 hingga 40 tahun dengan 50% penduduk atau kurang dari itu yang mendapat vaksin perlindungan. 

Dengan demikian, kekebalan kelompok tidak ada di negeri ini selama puluhan tahun dan tidak ada wabah yang bangkit lagi. Kekebalan kelompok hasil vaksinasi adalah kebohongan yang digunakan untuk menakut-nakuti para dokter, pegawai kesehatan masyarakat, praktisi-praktisi kesehatan lain dan masyarakat agar mau menerima vaksinasi.

Ketika kita memeriksa literatur ilmiah, kita temukan bahwa untuk banyak orang, kekebalan perlindungan vaksin berkisar antara 30% sampai 40%, yang berarti 70% sampai 60 % masyarakat tidak memperoleh perlindungan vaksin. 

Lagi, ini akan berarti, dengan angka efektifitas vaksin 30-40%, digabungkan dengan fakta bahwa sebagian besar orang telah hilang perlindungan kekebalannya dalam 2 hingga 10 tahun paska vaksinasi, sebagian besar dari kita hidup tanpa keajaiban angka 95% yang dibutuhkan agar tercipta kekebalan kelompok. Inilah mengapa para pembela vaksin bersikeras bahwa vaksin memiliki angka kefektifan 95%.

Tanpa mantra kekebalan kelompok, para pejabat kesehatan masyarakat ini tidak akan bisa membenarkan vaksinasi paksa secara masal. 

Saya biasa memberi contoh sederhana kepada para dokter yang mempertanyakan pernyataan saya bahwa kekebalan kelompok adalah mitos. Saat saya masih menjadi mehasiswa kedokteran hampir 40 tahun yang lalu, kami diajari jika vaksin tetanus akan bertahan sampai mati. Kemudian, setelah 30 tahun diwajibkan, kami menemukan bahwa perlindungannya bertahan tidak lebih dari 10 tahun.

Lalu saya bertanya ke rekan saya yang ragu-ragu itu apakah dia pernah menemui kasus tetanus? Hampir semuanya menjawab belum. 

Lalu saya katakan kepada mereka agar melihat data tahunan tentang infeksi tetanus – tidak ada yang melihat adanya peningkatan kasus tetanus. Hal yang sama bisa dikatakan terjadi pada campak, gondong dan penyakit-penyakit infeksi anak-anak yang lain. Kekebalan kelompok hasil vaksinasi itu, dulu dan sekarang, adalah mitos.

Semua kasus vaksinasi masal yang dipaksakan bersandar pada mitos ini dan penting bagi kita untuk menunjukkan kebohongan gagasan ini. Dalam buku terbarunya, The Vaccine Information Manual, Neil Z Miller memberi bukti yang meyakinkan bahwa kekebalan kelompok adalah mitos.

Jalan ke Neraka Dihiasi Tujuan Baik

Mereka yang mendorong vaksinasi wajib untuk penyakit yang tidak akan pernah berhenti itu terdiri atas beragam kelompok. Beberapa dari mereka sangat jujur dan benar-benar menginginkan peningkatan kesehatan di Amerika Serikat. Mereka mempercayai mitos bahwa kekebalan kelompok didapat dari vaksin dan bahwa vaksin pada dasarnya efektif dan aman. Mereka bukan orang jahat.

Yang semakin banyak terdiri atas orang-orang dengan pandangan hidup kolektivis dan merasa diri sebagai orang-orang elit yang bijak yang harus mendikte kita semua tentang apa yang harus kita perbuat di seluruh aspek kehidupan. 

Mereka menganggap kita binatang ternak bodoh, yang tidak mampu mengerti kebaikan dari rencana mereka untuk Amerika dan dunia. Bagai anak-anak, kita harus dibuat (agar mau) meminum obat kita – karena, di mata mereka, kita tidak punya konsep tentang manfaat sesungguhnya dari obat berasa pahit yang harus kita telan itu.

Saya juga menemukan sejumlah kecil orang di lembaga-lembaga regulasi dan badan kesehatan masyarakat yang ingin bersuara namun sangat terintimidasi dan terancam dengan pemecatan dan perusakan karir mereka, sehingga mereka tetap bungkam. Sementara media, mereka tidak tahu apa-apa.

Saya telah mendapati bahwa para ‘reporter’ (kita hanya punya sedikit jurnalis tulen sekarang ini) jarang yang mengerti tentang hal yang mereka laporkan dan selalu percaya dan bergantung kepada orang-orang yang punya otoritas resmi, bahkan bila orang-orang itu tidak berkualifikasi untuk berbicara tentang subyek itu. 

Nyaris setiap waktu mereka lari ke Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) atau jurusan kedokteran untuk mendapat jawaban. Tidak terhitung berapa kali saya melihat ketua jurusan di universitas yang diwawancarai ketika jelas mereka tidak mengerti tentang masalah yang didiskusikan. Sedikit dari profesor semacam itu yang akan melepas kesempatan tampil di depan kamera atau dikutip dalam surat kabar.

Harus pula dimengerti bila para reporter dan editor yang seperti itu berada di bawah tekanan ekonomi, karena pabrikan-pabrikan vaksin adalah pengiklan utama di seluruh outlet media dan untuk alasan yang jelas – pengiklan mengontrol konten. 

Sejumlah cerita yang sangat bagus tentang persoalan medis itu disisihkan setiap hari. Artinya, kita akan selalu beralih ke ‘media pinggiran’, sebutan mereka bagi outlet media kita. Meskipun banyak media pinggiran menghadirkan jurnalisme berkualitas tinggi, mereka punya pendengar yang lebih sedikit. Terlepas dari hal itu, kita punya efek yang besar pada debat tentang persoalan ini.

Ketika Masyarakat Tersadar, Para Kolektivis Menjadi Putus Asa

Dalam buku Ordeal by Planning, John Jewkes mengamati bahwa ketika kaum kolektivis Inggris mulai melihat bangkitnya perlawanan terhadap rencana besar mereka, mereka menjadi semakin putus asa dan agresif dalam bereaksi. Kemudian mereka memulai kampanye untuk memfitnah dan menimpakan setiap kesalahan kepada ketidakmauan orang untuk menerima perintah yang didiktekan sang perencana tanpa banyak tanya. 

Kita tentu sudah melihatnya dalam debat ini –para penentang vaksinasi paksa disebut sebagai ilmuwan pinggiran, aneh, tidak berpendidikan, bingung dan musuh keamanan masyarakat—yang mengingatkan saya pada frase favorit Stalin, ‘musuh rakyat.’

Keputusasaan ini didasari rasa takut mereka jika publik segera memahami fakta bahwa program vaksin seluruhnya berlandaskan omong kosong, ketakutan, dan diramu dengan cerita dongeng. 

Yang secara khusus mereka takutkan adalah kemungkinan bila masyarakat menemukan fakta bahwa sebagian besar vaksin terkontaminasi oleh sejumlah virus, bakteri, fragmen virus dan fragmen DNA/RNA yang diketahui dan yang belum ditemukan. 

Lebih jauh, sains kita memperlihatkan bahwa cemaran-cemaran ini bisa memicu beberapa penyakit degeneratif yang berkembang secara perlahan, termasuk penyakit degeneratif pada otak. Hal ini jarang dibahas tapi menjadi permasalahan utama dalam debat ini.

Sumber: 

http://vaccinationcouncil.org/2012/02/18/the-deadly-impossibility-of-herd-immunity-through-vaccination-by-dr-russell-blaylock/


Catatan kami:

Artikel ini telah dibantah oleh Josh de Wald di skeptoid.com, karena dr. Blaylock tidak menyertakan referensi dalam tulisan ini. Diantaranya, tentang vaksin yang hanya bertahan kefektifannya (memberi hasil yang diinginkan) dalam waktu 2-10 tahun.

Tapi, rentang keefektifan vaksin seperti kata dr. Blaylock itu bisa kita temukan di dalam package/product insert (brosur kemasan) vaksin, yang bila tidak didapat dari kemasannya secara langsung, bisa didownload dari situs pembuat vaksinnya.

Sebagai contoh, informasi dari tangan pertama (pabrikan), vaksin Tetanus Toxoid Adsorbed (TT) buatan Sanofi Pasteur: 


TT adsorbed Sanofi Pasteur

Pada Varivax®, vaksin cacar air buatan Merck, disebutkan: 


varivax

Efisasi: kapasitas dari efek terapi yang diberikan, baik dengan obat, injeksi, pembedahan, dlsb.

Vaksin flu sendiri direkomendasikan setiap tahun..

Dan seterusnya, mungkin daftar seperti ini bisa lebih panjang bila kita mau mengulik lebih lanjut.

0 comments:

Post a Comment

I'd love to hear you saying something: